1. SEJARAH DAN BUDAYA SUKU KARO
Suku Karo adalah suku asli yang mendiami Dataran Tinggi daerah Karo, Kabupaten Deli Serdang, Kota Binjai, Kabupaten Langkat, Kabupaten Dairi, Kota Medan, dan Kabupaten Aceh Tenggara. Nama suku ini dijadikan salah satu nama kabupaten di salah satu wilayah yang mereka diami (dataran tinggi Karo) yaitu Kabupaten Karo. Suku ini memiliki bahasa sendiri yang disebut Bahasa Karo. Pakaian adat suku Karo didominasi dengan warna merah serta hitam dan penuh dengan perhiasan emas.seperti yang terlihat di bawah ini :
Suku Karo adalah suku asli yang mendiami Dataran Tinggi daerah Karo, Kabupaten Deli Serdang, Kota Binjai, Kabupaten Langkat, Kabupaten Dairi, Kota Medan, dan Kabupaten Aceh Tenggara. Nama suku ini dijadikan salah satu nama kabupaten di salah satu wilayah yang mereka diami (dataran tinggi Karo) yaitu Kabupaten Karo. Suku ini memiliki bahasa sendiri yang disebut Bahasa Karo. Pakaian adat suku Karo didominasi dengan warna merah serta hitam dan penuh dengan perhiasan emas.seperti yang terlihat di bawah ini :
Budaya karo atau Suku karo juga memiliki beberapa pakaian adat, yaitu :
- Uis nipes
- Uis julu
- Gatip gewang
- Gatip jongkit
- Gatip cukcak
- Uis pementing
- Batujala
- Uis arinteneng
- Uis kelam-kelam
- Uis cobar dibata
- Uis beka buluh
- Uis jujung-jujungen
Eksistensi Kerajaan Haru / Karo
Kerajaan Haru-Karo mulai menjadi kerajaan besar di Sumatera, namun tidak diketahui secara pasti kapan berdirinya. Namun demikian, Brahma Putra, dalam bukunya “Karo dari Zaman ke Zaman” mengatakan bahwa pada abad 1 Masehi sudah ada kerajaan di Sumatera Utara yang rajanya bernama “Pa Lagan“. Menilik dari nama itu merupakan bahasa yang berasal dari suku Karo. Mungkinkah pada masa itu kerajaan haru sudah ada?, hal ini masih membutuhkan penelitian lebih lanjut.(Darman Prinst, SH :2004)
Kerajaan Haru-Karo diketahui tumbuh dan berkembang bersamaan waktunya dengan kerajaan Majapahit, Sriwijaya, Johor, Malaka dan Aceh. Terbukti karena kerajaan Haru pernah berperang dengan kerajaan-kerajaan tersebut.Pada abad ke-15 Sejarah Dinasti Ming menyebutkan bahwa "Su-lu-tang Husin", penguasa Haru, mengirimkan upeti pada Cina tahun 1411. Setahun kemudian Haru dikunjungi oleh armada Laksamana Cheng Ho. Pada 1431 Cheng Ho kembali mengirimkan hadiah pada raja Haru, namun saat itu Haru tidak lagi membayar upeti pada Cina. Pada masa ini Haru menjadi saingan Kesultanan Malaka sebagai kekuatan maritim di Selat Malaka. Konflik kedua kerajaan ini dideskripsikan baik oleh Tome Pires dalam Suma Oriental maupun dalam Sejarah Melayu.
Pada abad ke-16 Haru merupakan salah satu kekuatan penting di Selat Malaka, selain Pasai, Portugal yang pada 1511 menguasai Malaka, serta bekas Kesultanan Malaka yang memindahkan ibukotanya ke Bintan. Haru menjalin hubungan baik dengan Portugal, dan dengan bantuan mereka Haru menyerbu Pasai pada 1526 dan membantai ribuan penduduknya. Hubungan Haru dengan Bintan lebih baik daripada sebelumnya, dan Sultan Mahmud Syah menikahkan putrinya dengan raja Haru, Sultan Husain. Setelah Portugal mengusir Sultan Mahmud Syah dari Bintan pada 1526 Haru menjadi salah satu negara terkuat di Selat Malaka. Namun ambisi Haru dihempang oleh munculnya Aceh yang mulai menanjak. Catatan Portugal menyebutkan dua serangan Aceh pada 1539, dan sekitar masa itu raja Haru terbunuh oleh pasukan Aceh. Istrinya, ratu Haru, kemudian meminta bantuan baik pada Portugal di Malaka maupun pada Johor (yang merupakan penerus Kesultanan Malaka dan Bintan). Armada Johor menghancurkan armada Aceh di Haru pada 1540.
Aceh kembali menaklukkan Haru pada 1564. Sekali lagi Haru berkat bantuan Johor berhasil mendapatkan kemerdekaannya, seperti yang dicatat oleh Hikayat Aceh dan sumber-sumber Eropa. Namun pada abad akhir ke-16 kerajaan ini hanyalah menjadi bidak dalam perebutan pengaruh antara Aceh dan Johor.
Kemerdekaan Haru baru benar-benar berakhir pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda dari Aceh, yang naik tahta pada 1607. Dalam surat Iskandar Muda kepada Best bertanggal tahun 1613 dikatakan, bahwa Raja Aru telah ditangkap; 70 ekor gajah dan sejumlah besar persenjataan yang diangkut melalui laut untuk melakukan peperangan-peperangan di Aru. Dalam masa ini sebutan Haru atau Aru juga digantikan dengan nama Deli.
Wilayah Haru kemudian mendapatkan kemerdekaannya dari Aceh pada 1669, dengan nama Kesultanan Deli.
Kerajaan Haru identik dengan suku Karo,yaitu salah satu suku di Nusantara. Pada masa keemasannya, kerajaan Haru-Karo mulai dari Aceh Besar hingga ke sungai Siak di Riau. Eksistensi Haru-Karo di Aceh dapat dipastikan dengan beberapa nama desa di sana yang berasal dari bahasa Karo. Misalnya Kuta Raja (Sekarang Banda Aceh), Kuta Binjei di Aceh Timur, Kuta Karang, Kuta Alam, Kuta Lubok, Kuta Laksmana Mahmud, Kuta Cane, Blang Kejeren, dan lainnya. (D.Prinst, SH: 2004)
Terdapat suku Karo di Aceh Besaryang dalam logat Aceh disebut Karee. Keberadaan suku Haru-Karo di Aceh ini diakui oleh H. Muhammad Said dalam bukunya “Aceh Sepanjang Abad”, (1981). Ia menekankan bahwa penduduk asli Aceh Besar adalah keturunan mirip Batak. Namun tidak dijelaskan keturunan dari batak mana penduduk asli tersebut. Sementara itu, H. M. Zainuddin dalam bukunya “Tarikh Aceh dan Nusantara” (1961) dikatakan bahwa di lembah Aceh Besar disamping Kerajaan Islam ada kerajaan Karo. Selanjunya disebutkan bahwa penduduk asli atau bumi putera dari Ke-20 Mukim bercampur dengan suku Karo yang dalam bahasa Aceh disebut Karee. Brahma Putra, dalam bukunya “Karo Sepanjang Zaman” mengatakan bahwa raja terakhir suku Karo di Aceh Besar adalah Manang Ginting Suka.
Kelompok karo di Aceh kemudian berubah nama menjadi “Kaum Lhee Reutoih” atau kaum tiga ratus. Penamaan demikian terkait dengan peristiwa perselisihan antara suku Karo dengan suku Hindu di sana yang disepakati diselesaikan dengan perang tanding. Sebanyak tiga ratus (300) orang suku Karo akan berkelahi dengan empat ratus (400) orang suku Hindu di suatu lapangan terbuka. Perang tanding ini dapat didamaikan dan sejak saat itu suku Karo disebut sebagai kaum tiga ratus dan kaum Hindu disebut kaum empat ratus.
Dikemudian hari terjadi pencampuran antar suku Karo dengan suku Hindu dan mereka disebut sebagai kaum Jasandang. Golongan lainnya adalah Kaum Imam Pewet dan Kaum Tok Batee yang merupakan campuran suku pendatang, seperti: Kaum Hindu, Arab, Persia, dan lainnya.
Wilayah Suku Karo
Sering terjadi kekeliruan dalam percakapan sehari-hari di masyarakat bahwa Taneh Karo diidentikkan dengan Kabupaten Karo. Padahal, Taneh Karo jauh lebih luas daripada Kabupaten Karo karena meliputi:
Kabupaten Tanah Karogunung sinabung di kab.karo, gambar wanita di bawahnya adalah wanita yg sedang pergi bekerja ke Kebun
Kabupaten Karo terletak di dataran tinggi Tanah Karo. Kota yang terkenal dengan di wilayah ini adalah Brastagi dan Kabanjahe. Brastagi merupakan salah satu kota turis di Sumatera Utara yang sangat terkenal dengan produk pertaniannya yang unggul. Salah satunya adalah buah jeruk dan produk minuman yang terkenal yaitu sebagai penghasil Markisa Jus yang terkenal hingga seluruh nusantara. Mayoritas suku Karo bermukim di daerah pegunungan ini, tepatnya di daerah Gunung Sinabung dan Gunung Sibayak yang sering disebut sebagai atau “Taneh Karo Simalem”. Banyak keunikan-keunikan terdapat pada masyarakat Karo, baik dari geografis, alam, maupun bentuk masakan. Masakan Karo, salah satu yang unik adalah disebut trites.Trites ini disajikan pada saat pesta budaya, seperti pesta pernikahan, pesta memasuki rumah baru, dan pesta tahunan yang dinamakan -kerja tahun-. Trites ini bahannya diambil dari isilambung sapi/kerbau, yang belum dikeluarkan sebagai kotoran.Bahan inilah yang diolah sedemikian rupa dicampur dengan bahan rempah-rempah sehingga aroma tajam pada isi lambung berkurang dan dapat dinikmati. Masakan ini merupakan makanan favorit yang suguhan pertama diberikan kepada yang dihormati.
Kota MedanTugu Guru Patimpus di Medan
Pendiri kota Medan adalah seorang putra Karo yaitu Guru Patimpus Sembiring Pelawi.(lahir di Aji Jahe, hidup sekitar akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17) Medan diambil dari Kata Madan,
Setelah menikah, Guru Patimpus Sembiring pelawi dan istrinya membuka kawasan hutan antara Sungai Deli dan Sungai Babura yang kemudian menjadi Kampung Medan. Tanggal kejadian ini biasanya disebut sebagai 1 Juli 1590, yang kini diperingati sebagai hari jadi kota Medan.
Kota Binjai
Kota Binjai merupakan daerah yang memiliki interaksi paling kuat dengan kota Medan disebabkan oleh jaraknya yang relatif sangat dekat dari kota Medan sebagai Ibu kota provinsi Sumatera Utara.
Kabupaten Dairi
Wilayah kabupaten Dairi pada umumnya sangat subur dengan kemakmuran masyarakatnya melalui perkebunan kopinya yang sangat berkualitas. Sebagian kabupaten Dairi yang merupakan Taneh Karo:
Kecamatan Taneh Pinem
Kecamatan Tiga Lingga
Kecamatan Gunung Sitember
Kabupaten Deli Serdang
Sebagian kabupaten Deli Serdang yang merupakan Taneh Karo:
Kecamatan Lubuk Pakam
Kecamatan Bangun Purba
Kecamatan Galang
Kecamatan Gunung Meriah
Kecamatan Sibolangit
Kecamatan Pancur Batu
Kecamatan Namo Rambe
Kecamatan Sunggal
Kecamatan Kuta Limbaru
Kecamatan STM Hilir
Kecamatan Hamparan Perak
Kecamatan Tanjung Morawa
Kecamatan Sibiru-biru
kecamatan STM Hulu
Kabupaten Langkat
Taneh Karo di kabupaten Langkat meliputi:
Kecamatan Selesai
Kecamatan Kuala
Kecamatan Salapian
Kecamatan Bahorok
Kecamatan Pd.Tualang (Batang Serangan)
Kecamatan Sungai Bingai
Kecamatan Stabat
Kabupaten Aceh Tenggara
Taneh Karo di kabupaten Aceh Tenggara meliputi:
Kecamatan Lau Sigala-gala (Desa Lau Deski, Lau Perbunga, Lau Kinga)
Kecamatan Simpang Simadam
Kabupaten Aceh Tenggara
Taneh Karo di kabupaten Aceh Tenggara meliputi:
Kecamatan Lau Sigala-gala (Desa Lau Deski, Lau Perbunga, Lau Kinga)
Kecamatan Simpang Simadam
Kabupaten Simalungun
Taneh Karo di kabupaten Simalungun meliputi:
Kecamatan Doloksilau
Sebagian Kecamatan Silimakuta (contohnya: desa Rakut Besi)
2. SISTEM KEKERABATAN MASYARAKAT KARO
Berikut adalah sistem kekerabatan di masyarakat Karo atau sering disebut Daliken Sitelu atau Rakut Sitelu. Tulisan ini disadur dari makalah berjudul “Daliken Si Telu dan Solusi Masalah Sosial Pada Masyarakat Karo: Kajian Sistem Pengendalian Sosial” oleh Drs. Pertampilan Brahmana, Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.
Unsur Daliken Sitelu ini adalah ;
Kalimbubu (Hula-hula (Toba), Mora (Mandailing))
Sembuyak/Senina (Dongan sabutuha (Toba), Kahanggi (Mandailing))
Anak Beru (Boru (Toba, Mandailing))
Setiap anggota masyarakat Karo dapat berlaku baik sebagai kalimbubu, senina/sembuyak, anakberu, tergantung pada situasi dan kondisi saat itu.
Kalimbubu
Kalimbubu adalah kelompok pihak pemberi wanita dan sangat dihormati dalam sistem kekerabatan masyarakat Karo. Masyarakat Karo menyakini bahwa kalimbubu adalah pembawa berkat sehingga kalimbubu itu disebut juga dengan Dibata Ni Idah (Tuhan yang nampak). Sikap menentang dan menyakiti hati kalimbubu sangat dicela.
Anak Beru
Anakberu adalah pihak pengambil anak dara atau penerima anak gadis untuk diperistri. Oleh Darwan Prints, anakberu ini diumpamakan sebagai yudikatif, kekuasaan peradilan. Hal ini maka anakberu disebut pula hakim moral, karena bila terjadi perselisihan dalam keluarga kalimbubunya, tugasnyalah mendamaikan perselisihan tersebut.
Senina/Sembuyak
Hubungan perkerabatan senina disebabkan seclan, atau hubungan lain yang berdasarkan kekerabatan.
Berikut adalah sistem kekerabatan di masyarakat Karo atau sering disebut Daliken Sitelu atau Rakut Sitelu. Tulisan ini disadur dari makalah berjudul “Daliken Si Telu dan Solusi Masalah Sosial Pada Masyarakat Karo: Kajian Sistem Pengendalian Sosial” oleh Drs. Pertampilan Brahmana, Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.
Unsur Daliken Sitelu ini adalah ;
Kalimbubu (Hula-hula (Toba), Mora (Mandailing))
Sembuyak/Senina (Dongan sabutuha (Toba), Kahanggi (Mandailing))
Anak Beru (Boru (Toba, Mandailing))
Setiap anggota masyarakat Karo dapat berlaku baik sebagai kalimbubu, senina/sembuyak, anakberu, tergantung pada situasi dan kondisi saat itu.
Kalimbubu
Kalimbubu adalah kelompok pihak pemberi wanita dan sangat dihormati dalam sistem kekerabatan masyarakat Karo. Masyarakat Karo menyakini bahwa kalimbubu adalah pembawa berkat sehingga kalimbubu itu disebut juga dengan Dibata Ni Idah (Tuhan yang nampak). Sikap menentang dan menyakiti hati kalimbubu sangat dicela.
Anak Beru
Anakberu adalah pihak pengambil anak dara atau penerima anak gadis untuk diperistri. Oleh Darwan Prints, anakberu ini diumpamakan sebagai yudikatif, kekuasaan peradilan. Hal ini maka anakberu disebut pula hakim moral, karena bila terjadi perselisihan dalam keluarga kalimbubunya, tugasnyalah mendamaikan perselisihan tersebut.
Senina/Sembuyak
Hubungan perkerabatan senina disebabkan seclan, atau hubungan lain yang berdasarkan kekerabatan.
3. SIFAT UMUM ORANG KARO MENURUT MARGANYA
Berikut merupakan ciri khas sifat orang karo berdasarkan marganya masing-masing ;
Karo-Karo
Merga
Karo-karo rata-rata cerdas dalam berpikir dan bertindak. Ini terbukti
dengan orang Karo yang meraih gelar sarjana pertama kali adalah Dr B.
Sitepu dan Mr. Jaga Bukit. Profesor pertama dari Karo adalah Prof. A.T.
Barus. Gubernur Sumatera Utara dari Karo pertama kali adalah Ulung
Sitepu. Sampai menteri dari Karo yang pernah diangkat adalah M.S. Kaban.
Karo-karo
biasanya berkemauan kuat dan berusaha keras meraih cita-citanya.
Karena kemauan dan kerja kerasnya itu tidak sedikit Karo-karo berhasil
meraih segala keinginannya.
Beru Karo terkenal berani dalam
bertindak. Ketika ada yang tidak sesuai keinginan hatinya maka apapun
bisa dikata-katainya. Cenderung bersifat mendominasi dalam rumah
tangga. Tapi beru Karo terkenal kepintarannya sebagai penyeimbang rumah
tangga.
Ginting
Merga Ginting
lantang dalam berbicara. Kalau memang pendapatnya benar akan terus
dipertahankannya. Siapa yang tidak kenal nama yang sudah didekasikan
menjadi salah satu jalan terpanjang di negeri ini, Letjend Jamin
Ginting. Termasuk anggota MPR RI, Sutradara Ginting yang pintar dalam
mengungkapkan pendapatnya.
Tidak takut untuk memulai sesuatu yang baru. Mempunyai jiwa kepemimpinan yang kuat. Cenderung patuh pada istrinya.
Beru
Ginting terkenal tidak malu tampil ke tengah. Kalau belum berbuat
sesuatu rasanya belum ada kepuasan dalam dirinya. Keberaniannya
terkadang tidak memikirkan resiko apa yang akan terjadi terhadap
tindakannya.
Sembiring
Merga
Sembiring rata-rata berjiwa diplomatis. Sedikit berbicara tapi dalam
artinya. Terkadang pelan-pelan mengutarakan pendapatnya sehingga
keinginan hatinya diterima semua orang. Siapa yang tidak kenal dengan
keturunan Sibayak Sarinembah, Mayjend Raja Kami Sembiring dengan
vokalnya yang menghebohkan gedung MPR RI Senayan beberapa tahun lalu.
Kriminolog Adrianus Meliala juga termasuk salah satu contoh.
Cenderung
malu dan takut mengutarakan cinta pada gadis yang dipujanya. Bahkan
sekalipun ditanya apakah dia mencintai gadis itu dengan cepat akan
ditampiknya dengan halus.
Beru Sembiring berjiwa penyabar. Walau
banyak yang tidak menyenangi dirinya dengan sabar dia akan menerimanya.
Cenderung sebagai penguasa rumah tangga. Sehingga rumah tangga berada
dibawah kendalinya.
Tarigan
Merga
Tarigan pintar berbicara. Di kedai kopi ataupun jambur semua obrolan
akan didominasinya. Cepat berkelit dalam berkata-kata jika ada sesuatu
yang tidak sesuai dengan maksudnya.
Karena pintar berkata-kata
rata-rata merga Tarigan berjiwa dagang. Mulia Tarigan salah satu
contohnya. Juga Mestika br Tarigan menjadi psikolog terkenal saat ini.
Beru Tarigan bersifat pasrah terhadap sesuatu yang didapatnya. Apa yang dikatakannya terkadang berbeda dengan isi hatinya.
Perangin-angin
Merga
ini disebut dengan julukan Tambar Malem (selain Sebayang). Tambar
Malem maksudnya disini adalah kepintaran dalam berkata-kata untuk
menghibur orang. Jika ada orang mengalami masalah, Perangin-angin
pintar memakai lidahnya untuk menghibur dan mencari solusi jalan
keluarnya. Bersifat moderator dan mediator.
Cenderung harus
dibujuk-bujuk (tami-tami) dan cemburuan. Berani dalam bertindak dan
mengungkapkan pendapatnya. Aktor kawakan Advent Bangun yang telah
memakai lidahnya dalam berkotbah di mimbar gereja. Termasuk perjuangan
Kiras Bangun alias Pa Garamata dalam mempertahankan kemerdekaan negeri
ini.
Beru Perangin-angin berjiwa ingin tampil. Ada suatu
kebanggaan jika dirinya diperhatikan orang. Bersifat menguasai
keluarganya sendiri. Kepintarannya dalam mencari muka pada orang tuanya
terkadang membuat perselisihan dengan turangnya sendiri.
Sifat-sifat
merga di atas tidak bisa menjadi tolak ukur bagi kita untuk
menyimpulkan sifat seseorang dari merganya. Perkembangan jaman,
kehidupan sosial dan perkawinan dengan berbagai suku sedikit demi
sedikit mengikis sifat-sifat merga itu sendiri.
Jadi sifat merga
diatas hanyalah sebuah kesimpulan kecil dari sebuah penelitian yang
setiap saat bisa disanggah dan diperdebatkan. Sekali lagi janganlah
kesimpulan diatas menjadi acuan kita untuk menilai sifat merga dan juga
sifat seseorang.
Tapi jika kita menelusuri lebih dalam setiap
orang Karo mempunyai sifat yang hampir sama. Mungkin dikarenakan alam,
budaya dan seninya yang mengacu pada kehidupan sosial Karo itu sendiri.
Catatan kecil tentang sifat orang Karo
Orang
Karo itu tidak terlalu rajin tetapi bukan pemalas. Berjiwa lemah
lembut dan toleransi yang kuat. Sifat gotong royong dan memusyawarahkan
sesuatu secara “sangkep nggeluh” menjadi nilai yang dikedepankan dalam
strukur sosial masyarakatnya.
Prinsip hidupnya adalah, ”Ertuah bayak sangap encari,” yang artinya berkembang biak murah rejeki dan etos kerja yang digunakan, “Mangkuk reh mangkuk mulih, Ola lolo cametendu”.
Filosofi hidup orang Karo itu,”Pebelang juma maka mbelang man peranin, Jemur pagendu sangana las,” yang artinya perbanyak mata pencaharian supaya banyak hasilnya, gunakan kesempatan yang ada.
Ada juga falsafah yang mengatakan, “Keri gia pola isina, gelah mehuli penangketken kitangna,” biarpun habis air nira diminum, asal yang meminum itu menggantungkan tempatnya (kitang) itu dengan baik.
Kelemahan
orang Karo pada umumnya mudah tersinggung dan sakit hati. Apabila rasa
sakit hati dan ketersinggungan itu terlalu mendalam akan menimbulkan
reaksi. Tetapi lebih banyak mengundurkan diri dalam percaturan. Tapi
umumnya mempunyai sifat pendendam.
Orang Karo sangat sensitif
tetapi menyimpan sifat ideal sebagai single fighter. Berani memulai
sesuatu walau tidak tahu apa resiko yang akan dihadapinya. Mempunyai
jiwa merantau (erlajang) dan dengan cepat bisa beradaptasi dengan
lingkungan barunya. Ada istilah sendiri yang mengacu hal ini,
“Kalau
masuk ke kandang kambing, dia akan mengembik tapi tidak jadi kambing.
Kalau masuk ke kandang harimau, dia akan mengaum tapi tidak jadi
harimau.”
Masing-masing
kita sudah mengetahui sifat kita sebagai pribadi maupun sebagai
seorang Karo. Tapi alangkah baiknya jika kita menelaah kembali mana sifat yang
mendukung hidup kita ke arah positif dan mana yg menghambat kemajuan hidup kita.
Adal baiknya kita berjiwa besar meninggalkan kebiasaan-kebiasaan lama dan memulai
sesuatu yang lebih baik. Dengan menggunakan sifat yang baik dari kita
secara pribadi dan juga dengan sesama niscaya memberikan harapan
perubahan baru dalam hidup kita. Salam budaya!
Sumber :
- http://www.karoweb.or.id/karo-dan-sifat-merganya/
- http://www.kaskus.us/showthread.php?s=4422d370c2d15e05ffa766c46b86f499&t=5248656
- http://arianus.wordpress.com/2010/03/13/budaya-karo/
- http://gintink.blogspot.com/2010/11/lokasi-kerajaan-haru.html
- http://id.wikipedia.org/wiki/Guru_Patimpus