BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Hakim
adalah pegawai negeri sipil yang mempunyai jabatan fungsional. Tugas
hakim adalah mengkonstatir, mengkwalifisir dan kemudian mengkonstituir.
Apa yang harus dikonstatirnya adalah peristiwa dan kemudian peristiwa
ini harus dikwalifisir, pasal 5 ayat 1 UU. 14/1970 mewajibkan hakim
mengadili menurut hukum. Maka oleh karena itu hakim harus mengenal hukum
di samping peristiwanya.
Seorang
hakim haruslah independen, tidak memihak kepada siapapun juga walaupun
itu keluarganya, kalau sudah dalam sidang semuanya diperlakukan sama.
Hakim
harus berpegang kepada Tri Parasetya Hakim Indonesia. Hakim harus dapat
membedakan antar sikap kedinasan sebagai jabatannya sebagai pejabat
negara yang bertugas menegakkan keadilan dengan sikap hidup sehari-hari
sebagai bagian dari keluarga dan masyarakat.
Untuk
membedakan itu hakim mempunyai kode etik sendiri bagaimana supaya dia
dapat mengambil sikap. Zaman sekarang kadang-kadang hakim salah
menempatkan sikapnya, yang seharusnya sikap itu harus dilingkungan
keluarga, ia bawa waktu persidangan. Ini tentunya akan mempengaruhi
putusan.
Masalah kode etik inilah yang menjadi latar belakang penulisan makalah ini. Supaya hakim-hakim agar lebih memperhatikan lagi tugasnya sebagai penegak keadilan di dalam masyarakat.
B. BATASAN MASALAH
Supaya pembahasan makalah ini tidak menyimpang, maka kami membatasi makalah ini dengan :
1. Pengertian hakim, tugas, dan tanggung jawabnya.
2. Kode etik hakim dan hubungannya dengan Undang-undang
C. TUJUAN PENULISAN
Tujuan penulisan makalah ini adalah :
1. Untuk memenuhi tugas berstruktut mata kuliah Etika Profesi Hukum yang diasuh oleh Drs. Ahmadi Hasan M.Hum
2. Supaya kita mengetahui kode etik seorang hakim
D. METODE PENULISAN
Metode
penulisan makalah ini adalah dengan menggunakan studi kepustakaan,
yaitu dengan mengumpulkan bahan-bahan yang berhubungan dengan Kode
kehormatan Hakim.
E. SISTEMATIKA PENYAJIAN
Makalah ini terdiri atas 3 BAB dan masing-masing Bab mempunyai sub-bab, yaitu :
1. Bab
I : Pendahuluan, yang berisi Latar belakang masalah, batasan masalah,
tujuan penulisan, metode penulisan dan sistematika penyajian.
2. Bab
II : Pembahasan, yang terdiri atas Pengertian Hakim, kewajiban / tugas
hakim, tanggung jawab hakim, kode etik hakim, kode kehormatan hakim
dengan undang-undang, dan kekuasaan kehakiman.
3. Bab III : Penutup yang terdiri dari kesimpulan.
4. Lampiran UU No 35 tahun 1999 Tentang Kekuasaan Kehakiman
5. Daftar pustaka.
BAB II
PEMBAHASAN
"HAKIM"
A. PENGERTIAN HAKIM
Hakim adalah pegawai negeri sipil yang mempunyai jabatan fungsional. Kode etik hakim disebut juga kode kehormatan hakim.
Hakim juga adalah pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman
yang syarat dan tata cara pengangkatan, pemberhetian dan pelaksanaan
tugasnya ditentukan oleh undang-undang.
B. KEWAJIBAN / TUGAS HAKIM
Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan mempunyai kewajiban yaitu :
1. Menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat.
Dalam
masyarakat yang masih mengenal hukum tidak tertulis, serta berada dalam
masa pergolakan dan peralihan. Hakim merupakan perumus dan penggali
dari nilai-nilai hukum yang hidup dikalangan rakyat. Untuk itu ia harus
terjun ke tangah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan, dan mampu
menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Dengan demikian hakim dapat memberikan keputusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.
2. Hakim wajib memperhatikan sifat-sifat baik dan buruk dari tertuduh dalam menentukan dan mempertimbangkan berat ringannya pidana.
Sifat-sifat
yang jahat maupun yang baik dari tertuduh wajib diperhatikan Hakim
dalam mempertimbangkan pidana yang akan dijatuhkan.
Keadaan-keadaan
pribadi seseorang perlu diperhitungkan untuk memberikan pidana yang
setimpal dan seadil-adilnya. Keadaan pribadi tersebut dapat diperoleh
dari keterangan orang-orang dari lingkungannya, rukun tetangganya,
dokter ahli jiwa dan sebagainya.
C. TANGGUNG JAWAB HAKIM
1. Tanggung Jawab Hakim Kepada Penguasa
Tanggung
jawab hakim kepada penguasa (negara) artinya telah melaksanakan
peradilan dengan baik, menghasilkan keputusan bermutu, dan berdampak
positif bagi bangsa dan negara.
a. Melaksanakan
peradilan dengan baik. Peradilan dilaksanakan sesuai dengan
undang-undang, nilai-nilai hukum yang hidup dalam masayarakat, dan
kepatutan (equity).
b. Keputusan
bermutu. Keadilan yang ditetapkan oleh hakim merupakan perwujudan
nilai-nilai undang-undang, hasil penghayatan nilai-nilai yang hidup
dalam masyarakat, etika moral masyarakat, dan tidak melanggar hak orang
lain.
c. Berdampak
positif bagi masyarakat dan negara. Keputusan hakim memberi manfaat
kepada masyarakat sebagai keputusan yang dapat dijadikan panutan dan
yurisprudensi serta masukan bagi pengembangan hukum nasional.
2. Tanggung Jawab Kepada Tuhan
Tanggung
jawab hakim kepada Tuhan Yang Maha Esa artinya telah melaksanakan
peradilan sesuai dengan amanat Tuhan yang diberikan kepada manusia,
menurut hukum kodrat manusia yang telah ditetapkan oleh Tuhan melalui
suara hati nuraninya.
D. KODE ETIK HAKIM
Untuk jabatan hakim, Kode Etik Hakim disebut Kode Kehormatan Hakim berbeda dengan notaris dan advokat.
Hakim
adalah pegawai negeri sipil yang mempunyai jabatan fungsional. Oleh
karena itu Kode Kehormatan Hakim memuat 3 jenis etika, yaitu :
1. Etika kedinasan pegawai negeri sipil
2. Etika kedinasan hakim sebagai pejabat fungsional penegak hukum.
3. Etika hakim sebagai manusia pribadi manusia pribadi anggota masyarakat.
Uraian Kode Etik Hakim meliputi :
1. Etika keperibadian hakim
2. Etika melakukan tugas jabatan
3. Etika pelayanan terhadap pencari keadilan
4. Etika hubungan sesama rekan hakim
5. Etika pengawasan terhadap hakim.
Dari
kelima macam uaraian kode etik ini akan kita lihat apakah Kode Etik
Hakim memiliki upaya paksaan yang berasal dari undang-undang.
1. Etika keperibadian hakim
Sebagai pejabat penegak hukum, hakim :
a. Percaya dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
b. Menjunjung tinggi, citra, wibawa dan martabat hakim
c. Berkelakuan baik dan tidak tercela
d. Menjadi teladan bagi masyarakat
e. Menjauhkan diri dari eprbuatan dursila dan kelakuan yang dicela oleh masyarakat
f. Tidak melakukan perbuatan yang merendahkan martabat hakim
g. Bersikap jujur, adil, penuh rasa tanggung jawab
h. Berkepribadian, sabar, bijaksana, berilmu
i. Bersemangat ingin maju (meningkatkan nilai peradilan)
j. Dapat dipercaya
k. Berpandangan luas
2. Etika melakukan tugas jabatan
Sebagai pejabat penegak hukum, hakim :
a. Bersikap tegas, disiplin
b. Penuh pengabdian pada pekerjaan
c. Bebas dari pengaruh siapa pun juga
d. Tidak menyalahgunakan kepercayaan, kedudukan dan wewenang untuk kepentingan pribadai atau golongan
e. Tidak berjiwa mumpung
f. Tidak menonjolkan kedudukan
g. Menjaga wibawa dan martabat hakim dalam hubungan kedinasan
h. Berpegang teguh pada Kode Kehormatan Hakim
3. Etika pelayanan terhadap pencari keadilan
Sebagai pejabat penegak hukum, hakim :
a. Bersikap dan bertindak menurut garis-garis yang ditentukan di dalam hukum acara yang berlaku
b. Tidak memihak, tidak bersimpati, tidak antipati pada pihak yang berperkara
c. Berdiri di atas semua pihak yang kepentingannya bertentangan, tidak membeda-bedakan orang
d. Sopan, tegas, dan bijaksana dalam memimpin sidang, baik dalam ucapan maupun perbuatan
e. Menjaga kewibawaan dan kenikmatan persidangan
f. Bersungguh-sungguh mencari kebenaran dan keadilan
g. Memutus berdasarkan hati nurani
h. Sanggup mempertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa
4. Etika hubungan sesama rekan hakim
Sebagai sesama rekan pejabat penegak hukum, hakim :
a. Memlihara dan memupuk hubungan kerja sama yang baik antara sesam rekan
b. Memiliki rasa setia kawan , tenggang rasa, dan saling menghargai antara sesama rekan
c. Memiliki kesadaran, kesetiaan, penghargaan terhadap korp hakim
d. Menjaga nama baik dan martabat rekan-rekan , baik di dalam maupun di luar kedinasan
e. Bersikap tegas. Adil dan tidak memihak.
f. Memelihara hubungan baik dengan hakim bawahannya dan hakim atasannya.
g. Memberi contoh yang baik di dalam dan di luar kedinasan.
5. Etika pengawasan terhadap hakim.
Di
dalam urusan Kode Kehormatan Hakim tidak terdapat rumusan mengenai
pengawasan dan sanksi ini. Ini berarti pengawasan dan sanksi akibat
pelanggaran Kode Kehormatan Hakim dan pelanggaran undang-undang.
Pengawasan terhadap hakim dilakukan oleh Majelis Kehormatan Hakim.
Menurut ketentuan pasal 20 ayat (3) Undang-Undang No.2 Tahun 1986
tentang Peradilan umum; Pembentukan, susunan, dan tata kerja Majelis
Kehormatan Hakim serta tata cara pembelaan diri ditetapkan oleh Ketua
Mahkamah Agung bersama-sama Menteri Kehakiman.
E. KODE KEHORMATAN HAKIM DENGAN UNDANG-UNDANG
1. Kode Kehormatan Hakim
& Tri prasetya hakim Indonesia
Kode kehormatan hakim dikenal dengan "Tri Prasetya Hakim Indonesia". Yaitu ;
"Saya berjanji :
a. Bahwa saya senantiasa menjunjung tinggi citra, wibawa dan martabat Hakim Indonesia;
b. Bahwa saya dalam menjalankan jabatan berpegang teguh pada kode kehormatan Hakim Indonesia;
c. Bahwa saya menjunjung tianggi dan mempertahankan jiwa Korps Hakim Indonesia.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu membimbing saya di jalan yang benar."
& Perlambang atau sifat hakim
a. KARTIKA (= Bintang, yang melambangkan Ketuhanan Yang Maha Esa).
b. CAKRA (= Senjata ampuh dari Dewa Keadilan yang mampu memusnahkan segala kebatilan, kezaliman dan ketidakadilan) berari adil.
c. CANDRA (= Bulan yang menerangi segala tempat yang gelap, sinar penerangan dalam kegelapan) berarti bijaksana dan berwibawa.
d. SARI (= Bunga yang semerbak wangi mengharumi kehidupan masyarakat) berarti budi luhur atau berkelakuan tidak tercela.
e. TIRTA (= air, yang membersihkan segala kotoran di dunia) mensyaratkan, bahwa seorang hakim harus jujur.
& Perincian mengenai sifat hakim
a. KARTIKA = Percaya dan Taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
b. CAKRA = Adil
Dalam kedinasan
1) Adil
2) Tidak berprasangka atau memihak
3) Bersungguh-sungguh mencari kebenaran dan keadilan
4) Memutus berdasarkan keyakinan hati nurani
5) Sanggup mempertanggungjawabkan kepada Tuhan
Di luar kedinasan
1) Saling harga menghargai
2) Tertib dan lugas
3) Berpandangan luas
4) Mencari saling pengertian
c. CANDRA = Bijaksana / Berwibawa
Dalam kedinasan
1) Berkepribadian
2) Bijaksana
3) Berilmu
4) Sabar dan Tegas
5) Berdisiplin
6) Penuh pengabdian pada pekerjaan
Di luar kedinasan
1) Dapat dipercaya
2) Penuh rasa tanggung jawab
3) Menimbulkan rasa hormat
4) Anggun dan berwibawa
d. SARI = Berbudi luhur / berkelakuan tidak tercela
Dalam kedinasan
1) Tawakal dan Sopan
2) Ingin meningkatkan pengabdian dalam tugas
3) Bersemangat ingin maju
4) Tenggang rasa
Di luar kedinasan
1) Berhati-hati dalam pergaulan hidup
2) Sopan dan susila
3) Menyenangkan dalam pergaulan
4) Tenggang rasa'
5) Berusaha menjadi teladan bagi masyarakat sekelilingnya
e. TIRTA = Jujur
Dalam kedinasan
1) Jujur
2) Merdeka = tidak membeda-bedakan orang
3) Bebas dari pengaruh siapa pun juga
4) Tabah
Di luar kedinasan
1) Tidak boleh menyalahgunakan kepercayaan dan kedudukan
2) Tidak boleh berjiwa mumpung
2. Hubungan Kode Kehormatan Hakim Dengan Undang-Undang
Jabatan
hakim diatur dengan undang-undang, yaitu UU No.2 Tahun 1986 tentang
Peradilan Umum. Seorang yang menjabat hakim harus mematuhi undang-undang
dan berpegang pada Kode Kehormatan Hakim. Hubungan antara undang-undang
dan Kode Kehormatan Hakim terletak pada ketentuan Kode Kehormatan Hakim
yang juga diatur dalam undang-undang, sehingga sanksi pelanggaran
undang-undang diberlakukan juga pada pelanggaran Kode Kehormatan Hakim.
Apabila
menurut Majelis Kehormatan Hakim ternyata seorang hakim terbukti telah
melakukan pelanggaran, maka berdasarkan ketentuan pasal 20 ayat (1),
hakim yang bersangkutan diberhentikan tidak dengan hormat dari
jabatannya dengan alasan :
a. Dipidana karena bersalah melakukan tindakan pidana kejahatan.
b. Melakukan perbuatan tercela.
c. Terus menerus melalaikan kewajiban menjalankan tugas pekerjaan.
d. Melanggar sumpah atau janji jabatan.
e. Melanggar larangan pasal 18 (rangkap jabatan)
Pengusulan
pemberhentian tidak dengan hormat dilakukan setelah hakim yang
bersangkutan diberi kesempatan secukupnya untuk membela diri di hadapan
Majelis Kehormatan Hakim.
Menurut penjelasan pasal tersebut:
a. Yang dimaksud dengan "dipidana" ialah dipidana dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan.
b. Yang dimaksud dengan "melakukan perbuatan tercela"
ialah apabila hakim yang bersangkutan karena sikap, perbuatan, dan
tindakannya, baik di dalam maupun di luar pengadilan merendahkan
martabat hakim.
c. Yang dimaksud dengan "tugas pekerjaan" ialah semua tugas yang dibebankan kepada hakim yang bersangkutan.
Berdasarkan
ketentuan tadi dapat disimpulkan bahwa sanksi undang-undang adalah juga
sanksi Kode Kehormatan Hakim yang dapat dikenakan kepada pelanggarnya.
Dalam hal ini, Kode Kehormatan Hakim juga menganut prinsip penundukan
pada undang-undang.
F. KEKUASAAN KEHAKIMAN
Kekuasaan
kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka dalam pengertian di
dalam keuasaan kehakiman bebas dari campur tangan pihak kekuasaan negara
lainnya, dan kebebasan dari paksaan, direktiva dan rekomendasi yang
datang dari pihak extra judiciil kecuali dalam hal-hal yang diizinkan
oleh Undang-Undang. Kebebasan dalam pelaksanaan wewenang judiciil
tidaklah mutlak sifatnya, karena tugas daripada hakim adalah untuk
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasil dengan jalan
menafsirkan hukum dan mencari dasar-dasar serta asas-asas yang jadi
landasannya, melalui perkara-perkara yang dihadapinya sehingga
keputusannya mencerminkan persaan keadilan bangsa dan rakyat Indonesia.
Penyelenggaraan Kekuasaan kehakiman diserahkan kepada badan-badan Peradilan yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang.
Dalam hal ini kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan :
1. Peradilan Umum
2. Peradilan Agama
3. Peradilan Militer
4. Peradilan Tata Usaha Negara
Peradilan
Agama, Militer dan Tata Usaha Negara adalah peradilan khusus, karena
mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat
tertentu.
Sedangkan Peradilan Umum adalah peradilan bagi rakyat pada umumnya mengenai baik perkara perdata maupun pidana.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
ÿ Hakim adalah pegawai negeri sipil yang mempunyai jabatan fungsional. Kode etik hakim disebut juga kode kehormatan hakim.
ÿ Tugas hakim adalah :
1. Menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat.
2. Hakim wajib memperhatikan sifat-sifat baik dan buruk dari tertuduh dalam menentukan dan mempertimbangkan berat ringannya pidana.
ÿ Tanggung jawab hakim ada 2 yaitu :
1. Tanggung jawab kepada penguasa
2. Tanggung jawab kepada Tuhan
ÿ Kode kehormatan hakim dikenal dengan "Tri Prasetya Hakim Indonesia". Yaitu :
"Saya berjanji :
a. Bahwa saya senantiasa menjunjung tinggi citra, wibawa dan martabat Hakim Indonesia;
b. Bahwa saya dalam menjalankan jabatan berpegang teguh pada kode kehormatan Hakim Indonesia;
c. Bahwa saya menjunjung tianggi dan mempertahankan jiwa Korps Hakim Indonesia.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu membimbing saya di jalan yang benar."
ÿ Perlambang sifat hakim yaitu : KARTIKA = Percaya dan Taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, CAKRA = Adil, CANDRA = Bijaksana / Berwibawa, SARI = Berbudi luhur / berkelakuan tidak tercela, dan TIRTA = Jujur
Lampiran
UU NO 35 TAHUN 1999 TENTANG "KETENTUAN-KETENTUAN POKOK KEKUASAAN KEHAKIMAN"
Isi UU No 14 tahun 1970 yang disempurnakan
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Kekuasaan
kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi
terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.
Pasal 2
1. Penyelenggaraan
Kekuasaan Kehakiman tercantum dalam pasal 1 diserahkan kepada
badan-Badan Peradilan dan ditetapkan dengan Undang-Undang dengan tugas
pokok untuk menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan
setiap perkara yang diajukan kepadanya.
2. Tugas lain daripada yang tersebut pada ayat (1) dapat diberikan kepadanya berdasarkan peraturan perundangan
Pasal 3
1. Semua peradilan diseluruh wilayah Republik Indonesia adalah peradilan negara dan ditetapkan dengan undang-undang.
2. Peradilan dilakukan dengan sederhana; cepat menegakkan hukum dan keadilan yang berdasarkan Pancasila
Pasal 4
1. Peradilan dilakukan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan.
3. Segala
campur tangan dalam peradilan dari pihak-pihak lain di luar kekuasaan
Kehakiman di larang, kecuali dalam hal-hal yang tersebut dalam
Undang-Undang Dasar
Pasal 5
1. Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.
2. Dalam
perkara perdata Pengadilan membantu para pencari keadilan dan berusaha
sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat
tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.
Pasal 6
1. Tiada seorang juapun dapat dihadapkan di Pengadilan selain daripada yang ditentukan baginya oleh Undang-Undang.
2. Tiada
seorang juapun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila Pengadilan,
karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang mendapat keyakinan
bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah
atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya.
Pasal 7
Tiada
seorang juapun dapat dikenakan penangkapan, penahanan, penggeledahan
dan penyitaan, selain atas perintah tertulis oleh kekuasaan yang sah
dalam hal-hal menurut cara-cara yang diatur dengan Undang-Undang
Pasal 8
Setiap
orang, yang disangka ditangkap, ditahan, dituntut, dan /atau dihadapkan
di depan Pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya
putusan Pengadilan, yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh
kekuasaan hukum yang tetap.
Pasal 9
1. Seorang
yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupundiadili tanpa alasan yang
berdasarkan Undang-Undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau
hukum yang diterapkan, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi.
2. Pejabat yang dengan sengaja melakukan perbuatan sebagaimana tersebut dalam ayat (1) dapat dipidana.
3. Cara-cara untuk menuntut ganti kerugian, rehabilitasi dan pembebanan ganti kerugian diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang.
BAB II
BADAN-BADAN PERADILAN
DAN ASAS-ASASNYA
Pasal 10
1. Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan :
a. Peradilan Umum
b. Peradilan Agama
c. Peradilan Militer
d. Peradilan Tata Usaha Negara
2. Mahkamah agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi.
3. Terhadap
putusan-putusan yang diberikan tingkat terakhir oleh
Pengadilan-pengadilan lain daripada Mahkamah Agung, kasasi dapat diminta
kepada Mahkamah Agung.
4. Mahkamah
Agung melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan Pengadilan yang
lain, menurut ketentuan yang ditetapkan dengan Undang-undang.
Pasal 11
1. Badan-badan
peradilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 ayat (1), secara
organisatoris, administratif dan finansial berada di bawah kekuasaan
Mahkamah Agung.
2. Ketentuan
mengenai organisatoris, administratif, dan finansial sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) untuk masing-masing lingkungan peradilan diatur
lebih lanjut dengan Undang-Undang sesuai dengan keksususan peradilan
masing-masing
Pasal 11A
1. Pengalihan
organisasi, administratif, dan finansial sebagaimana dimaksud dalam
pasal 11 ayat (1) dilaksanakan secara bertahap, paling lama 5 (lima)
tahun sejak Undang-Undang ini mulai berlaku.
2. Pengalihan
organisasi, administrasi, dan finansial bagi peradilan Agama waktunya
tidak ditentukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
3. Ketentuan mengenai tata cara pengalihan secara bertahap sebagaimana dimaksud ayat (1), ditetapkan dengan keputusan Presiden.
Pasal 12
Susunan,
Kekuasaan serta Acara dari Badan-Badan Peradilan seperti tersebut dalam
pasal 10 ayat (1) diatur dalam Undang-Undang tersendiri.
Pasal 13
Badan-badan peradilan khusus di samping badan-badan Peradilan yang sudah ada, hanya dapat diadakan dengan Undang-Undang.
Pasal 14
1. Pengadilan
tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili sesuatu perkara yang
diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan
wajib memeriksa dan mengadilinya.
2. Ketentuan dalam ayat (1) tidak menutup kemungkinan untuk usaha penyelesaian perkara perdata secara perdamaian.
Pasal 15
1. Semua
Pengadilan memeriksa dan meutuskan dengan sekurang-kurangnya tiga orang
Hakim, kecuali apabila Undang-Undang menentukan lain.
2. Di antara para Hakim tersebut dalam ayat (1) seorang bertindak sebagai Ketua, dan lainnya sebagai Hakim Anggota sidang.
3. Sidang dibantu oleh seorang Panitera atau seorang yang ditugaskan melakukan pekerjaan Panitera.
4. Dalam perkara pidana wajib hadir pula seorang Penuntut Umum, kecuali apabila ditentukan lain dengan Undang-Undang.
Pasal 16
Pengadilan memeriksa dan memutus perkara dengan hadirnya tertuduh, kecuali apabila Undang-Undang menentukan lain.
Pasal 17
1. Sidang memeriksa Pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali apabila Undang-Undang menentukan lain.
2. Tidak dipenuhi ketentuan dalam ayat (1) mengakibatkan batalnya putusan menurut hukum.
3. Rapat permusyawaratan Hakim bersifat rahasia.
Pasal 18
Semua putusan Pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
Pasal 19
Atas
semua putusan Pengadilan tingkat pertama, yang tidak merupakan
pembebasan dari tuduhan, dapat dimintakan banding oleh pihak-pihak yang
bersangkutan, kecuali apabila Undang-Undang menentukan lain.
Pasal 20
Atas
putusan Pengadilan dalam tingkat banding dapat dimintakan kasasi kepada
Mahkamah Agung oleh pihak-pihak yang berkepentingan yang diatur dalam
Undang-Undang.
Pasal 21
Apabila
terdapat hal-hal atau keadaan-keadaan yang ditentukan dengan
undang-undang, terhadap putusan Pengadilan, yang telah memperoleh
kekuatan hukum yang tetap dapat dilakukan peninjauan kembali kepada
Mahkamah Agung, dalam perkara-perkara perdata dan pidana oleh
pihak-pihak yang berkepentingan.
Pasal 22
Tindak
pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan
Peradilan Umum dan lingkungan Peradilan Militer diperiksa dan diadili
oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali jika menurut
Keputusan Ketua Mahkamah Agung perkara itu harus diperiksa dan diadili
oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer.
Kewenangan
Pengadilan Umum untuk mengadili perkara-perkara yang dilakukan oleh
anggota Tentara Nasional atau Polisi Republik Indonesia bersama-sama
dengan orang sipil pada hakekatnya merupakan suatu kekecualian atau
penyimpangan dari ketentuan, bahwa seorang semestinya diadili di sidang
pengadilan masing-masing.
Hal
tersebut merupakan kekcualian, maka kewenangan pengadilan Umum tersebut
terbatas pada bentuk-bentuk pernyataan dalam suatu delik, seperti
sebagaimana dimaksud dalam pasal 55 dan pasal 56 KUHP.
Undang-undang
ini memberikan kewenangan kepada Ketua Mahkamah Agung untuk menetapkan
Peradilan Militer sebagai pengadilan yang berwenang mengadili perkara
koneksitas tersebut. Pernyataan pada suatu delik militer yang murni oleh
orang sipil dan perkara pernyataan, di mana unsur militer melebihi
unsur sipil misalnya, dapat dijadikan landasan untuk menetapkan
pengadilan lain daripada Pengadilan Umum, ialah Pengadilan Militer untuk
mengadili perkara-perkara demikian. Jika dalam hal perkara diadili oleh
Pengadilan Militer, maka susunan Hakim adalah dari Pengadilan Militer
dan Pengadilan Umum. Dalam hal ini kepentingan Justiciabel tetap
mendapatkan perhatian sepenuhnya, yaitu dalam susunan Hakim yang
bersidang. Dalam waktu perang di mana berlaku hukum eksepsional ataupun
hukum luar biasa, meskipun tindak pidana itu dilakukan bersama-sama
dengan seorang sipil, anggota Tentara Nasional atau Polisi Republik
Indonesia tidak ditarik dari pengadilannya.
Pasal 23
1. Segala
putusan Pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar
putusan itu, juga harus memuat pasal-pasal tertentu dari
peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis
yang dijadikan dasar untuk mengadili.
2. Tiap putusan pengadilan ditandatangani oleh Ketua serta Hakim-hakim yang memutus dan Panitera yang ikut serta bersidang.
3. Penetapan-penetapan,
ikhtisar-ikhtisar rapat permusyawaratan dan berita-berita acara tentang
pemeriksaan sidang ditandatangani oleh Ketua dan Panitera.
Pasal 24
Untuk kepentingan peradilan semua Pengadilan wajib memberi bantuan yang diminta.
BAB III
HUBUNGAN LEMBAGA PENGADILAN DAN LEMBAGA
NEGARA LAINNYA
Pasal 25
Semua
pengadilan dapat memberikan keterangan, pertimbangan, dan
nasihat-nasihat tentang soal-soal hukum kepada Lembaga Negara lainnya
apabila diminta.
Pasal 26
1. Mahkamah
Agung berwenang untuk menyatakan tidak sah semua peraturan perundangan
dari tingkat yang lebih rendah dari Undang-undang atas alasan
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
2. Putusan
tentang pernyataan tidak sahnya menurut peraturan perundang-undangan
tersebut dapat diambil berhubung dengan pemeriksaan ditingkat kasasi.
BAB IV
HAKIM DAN KEWAJIBANNYA
Pasal 27
1. Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.
2. Dalam
mempertimbangkan berat ringannya pidana, Hakim wajib memperhatikan pula
sifat-sifat yang baik dan yang jahat dari tertuduh.
Pasal 28
1. Pihak
yang diadali mempunyai hak ingkar terhadap hakim yang mengadili
perkaranya. Hak ingkar adalah hak seorang yang diadili untuk mengajukan
keberatan-keberatan yang disertai dengan alasan-alasan terhadap seorang
hakim yang akan mengadili eprkaranya. Putusan mengenai hal tersebut
dilakukan oleh Pengadilan.
2. Apabila
seorang Hakim masih terikat hubungan keluarga sedarah sampai derajat
ketiga atau semenda dengan Ketua, salah seorang hakim Anggota, Jaksa,
Penasehat Hukum atau Panitera dalam suatu perkara tertentu, ia wajib
mengundurkan diri dari pemeriksaan itu.
3. Begitu
pula apabila Ketua, Hakim Anggota, Penuntut Umum atau Panitera masih
terikat dalam hubungan keluarga sedarah sampai derajat ketiga atau
semenda denganyang diadili, ia wajib mengundurkan diri dari pemeriksaan
itu.
Pasal 29
Sebelum
melakukan jabatannya, Hakim, Panitera, Panitera Pengganti dan Jurusita
untuk masing-masing lingkungan peradilan harus disumpah atau berjanji
menurut agamanya, yang berbunyi sebagai berikut :
"Saya
bersumpah / berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya, untuk
memperoleh jabatan saya ini, langsung atau tidak langsung, dengan
menggunakan nama atau cara apapun juga, tiada memberikan atau
menjanjikan barang sesuatu kepada siapapun juga".
"Saya
bersumpah / berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu dalam jabatan ini, tiada sekali-kali akan menerima langsung atau
tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau pemberian".
"Saya
bersumpah / berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan
mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi
negara, Undang-Undang Dasar 1945, dan segala undang-undang serta
peraturan-peraturan lain yang berlaku bagi negara Republik Indonesia".
"Saya
bersumpah / berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan
saya ini dengan jujur, seksama dan tidak membeda-bedakan orang dan akan
berlaku dalam melaksanakan kewajiban saya sebaik-baiknya dan
seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang Ketua, Wakil Ketua, Ketua
Muda, Hakim Anggota Mahkamah Agung yang berbudi baik dan jujur dalam
menegakkan hukum dan keadilan".
BAB V
KEDUDUKAN PEJABAT EPRADILAN
(PENGADILAN)
Pasal 30
Syarat-syarat
untuk dapat diangkat dan diberhentikan sebagai Hakim dan tata cara
pengangkatannya dan pemberhentiannya ditentukan dengan Undang-undang.
Pasal 31
Hakim diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Negara.
Pasal 32
Hal-hal mengenai pangkat, gaji, dan tunjangan Hakim, diatur dengan peraturan tersendiri.
BAB VI
PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN
Pasal 33
1. Pelaksanaan putusan Pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh jaksa.
2. Pengawasan
pelaksanaan putusan Pengadilan tersebut ayat (1) oleh Ketua Pengadilan
yang bersangkutan, diatur lebih lanjut dengan Undang-undang.
3. Pelaksanaan putusan Pengadilan dalam perkara perdata dilakukan oleh Panitera dan Jurusita dipimpin oleh Ketua Pengadilan.
4. Dalam melaksanakan putusan Pengadilan diusahakan supaya perikemanusiaan dan perikeadilan tetap terpelihara.
Pasal 34
Pelaksanaan putusan Pengadilan diatur lebih lanjut dengan peraturan perundang-undangan.
BAB VII
BANTUAN HUKUM
Pasal 35
Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum.
Pasal 36
Dalam
perkara pidana seorang tersangka terutama sejak saat dilakukan
penangkapan dan / atau penahanan berhak menghubungi dan meminta bantuan
penasihat hukum.
Pasal 37
Dalam
memberi bantuan hukum tersebut pada pasal 36 di atas, penasihat hukum
membantu melancarkan penyelesaian perkara dengan menjungjung tinggi
Pancasila, hukum dan keadilan.
Pasal 38
Ketentuan-ketentuan dalam pasal 35, 36, dan 37 tersebut di atas diatur lebih lanjut dengan Undang-undang.
BAB VIII
PENUTUP
Pasal 39
Penghapusan Pengadilan adat dan swapraja dilakukan oleh Pemerintah.
Pasal 40
Semua
peraturan-peraturan yang mengatur ketentuan-ketentuan pokok Kekuasaan
Kehakiman yang bertentangan dengan Undang-undang ini dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 40A
Dengan
memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 40, semua
ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai pelaksanaan pasal 11 atau
yang berkaitan dengan pasal 22 masih tetap berlaku sepanjang belum
diganti dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang baru.
Pasal 41
Undang-undang ini dinamakan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman
Pasal 42
Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diundangkan
Agar
supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-undang ini dengan penempatannya pada Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Disahkan di Jakarta
DAFTAR PUSTAKA
& Kansil, C.S.T. Drs, S.H., 1986, Kitab Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman (KUKK), Jakart: PT. Bina Aksara.
& Muhammad, Abdul Kadir, Prof S.H., 2001, Etika Profesi Hukum, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.
& Sumaryono,E, 1995, Etika Profesi Hukum, Norma-Norma Bagi Penegak Hukum, Yogyakarta : Kanisius.
& UU
RI No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi dilengkapi dengan UU
No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, UU. No. 14 Tahun 1985 Tentang
Mahkamah Agung, UU No. 35 Tahun 1999 Tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No 5
Tahun 1991 Tentang Kejaksaan, dan UU N0 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian
Beserta Penjelasannya, Surabaya : Karina, 2003.
C.S.T. Kansil, Kitab Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman (KUKK), Jakart: PT. Bina Aksara, 1986, hlm. 18 - 19
E. Sumaryono, Etika Profesi Hukum, Norma-Norma Bagi Penegak Hukum, Yogyakarta : Kanisius, 1995, hlm. 175 - 177
UU
RI No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi dilengkapi dengan UU
No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, UU. No. 14 Tahun 1985 Tentang
Mahkamah Agung, UU No. 35 Tahun 1999 Tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No 5
Tahun 1991 Tentang Kejaksaan, dan UU N0 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian
Beserta Penjelasannya, Surabaya : Karina, 2003, hlm. 130 – 150.
Sumber ; http://lawriflaksana.blogspot.com